Skrining Pendengaran Pada Bayi dan Anak

Seorang anak diketahui mengalami gangguan pendengaran oleh keluarga ketika terdapat keterlambatan perkembangan bicara disbanding anak seusianya. Bila hal ini terlambat diketahui tentu hambatan yang akan dihadapi akan menjadi lebih besar lagi, yaitu perkembangan bicara, bahasa, kognitif dan kemampuan akademik.

Prosedur skrining pendengaran pada bayi dan anak ada beberapa tahap, tahap pertama menggunakan transient otoacoustic emission (TEOAE). Sedangkan skrining tahap selanjutnya adalah dengan menggunakan Brainstem Evoked Response Auditory (BERA). Yang mana kedua alat ini sudah ada di poli THT-KL RS Gambiran Kota Kediri. Kedua alat pemeriksaan ini yang menjadikan poli THT-KL RS Gambiran menjadi pusat rujukan pemeriksaan se Karisidenan Kediri.

Skrining tahap pertama dengan menggunakan TEOAE bisa dilakukan pada bayi usia 2-3 hari. TEOAE ini adalah tes yang memberikan stimulus berupa suara klik yang berurutan dengan rentang frekuensi 1.500 – 4.500 Hz dan intensitas gelombang sebesar 35 – 40 dB. Hasil dari TEOAE ada 3 kategori :

  1. Bayi tanpa faktor resiko dengan hasil pass kedua telinga maka dianggap pendengaran normal
  2. Bayi tanpa faktor resiko dengan hasil refer pada satu atau kedua telinga maka disarankan untuk tes TEOAE ulang 1mgg kemudian
  3. Semua bayi dengan faktor resiko (riwayat keluarga gangguan pendengaran, resiko tinggi selama kehamilan) maka dirujuk untuk skrining tahap selanjutnya.

Skrining tahap selanjutnya dengan menggunakan BERA bisa dilakukan pada bayi dengan usia lebih dari 1 bulan. Tujuan dilakukan pemeriksaan BERA adalah untuk merekam secara klinis pada semua tingkat kerusakan system saraf pendengaran dari koklea, korteks pendengaran, hingga respon di batang otak.

Menurut American Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) menyatakan bahwa skrining pendengaran pada bayi dimulai usia 2 hari atau 1 bulan pertama. Diagnosis dipastikan pada usia 3 bulan sehingga habilitasi optimal tidak lebih dari usia 6 bulan. Untuk bayi yang lulus skrining namun mempumyai faktor resiko terhadap gangguan pendengaran, maka dilanjutkan untuk follow up sampai anak bisa berbicara.

Setelah diketahui seorang anak menderita gangguan pendengaran, upaya habilitasi pendengaran harus dilakukan sedini mungkin. Hasil akan kurang optimal apabila habilitasi dilakukan melewati usia kritis proses berbicara dan mendengar yaitu sekitar usia 2-3 tahun. Apabila dikarenakan gangguan sensoryneural harus dilakukan hebilitasi berupa amplifikasi pendengaran dengan alat bantu dengar atau implantasi koklea. Selain itu bayi dan anak perlu mendapat rehabilitasi wicara melalui Auditory Visual Therapy atau terapi wicara.

Harapan kedepan tiap bayi bisa dilakukan skrining pendengaran (Universal Hearing screening Program) dan dilanjutkan dengan penanganan serta habilitasi yang tepat. Untuk itu sosialisasi dan edukasi perlu ditingkatkan pada masyarakat berkaitan dengan permasalahan tersebut.

 

 

 

Leave a Comment

Pemerintah Kota Kediri
LPSE Kota Kediri
Dinas Kesehatan kota Kediri
Aduan Warga Kota Kediri
E-Katalog LKPP
DPM-PTSP Kota Kediri
Dispendukcapil Kota Kediri
E-Perpus RSUD Gambiran Kota Kediri

Copyright © 2020 RSUD Gambiran Kota Kediri | All Rights Reserved

logo-rsud-gambiran