Selective Mutism : Ketika Diam Tidak Berarti Emas

Oleh:

Kristika Sadtyaruni, M.Psi., Psikolog

Nursita Afifah, S.Psi.

 

Pagi itu seorang anak laki-laki datang bersama ibu dan kakak perempuannya. Sebut saja namanya Jojo (bukan nama sebenarnya). Usianya masih remaja, badannya tinggi, mengenakan kaos hitam dengan sandal jepit sederhana sebagai alas kaki. Saat dipersilakan masuk ruangan, ia duduk diam di samping ibunya. Ekspresi wajahnya datar saja. Saya pun masih menyimpan tanya dalam kepala sampai saya menangkap kejanggalan pada caranya merespon pertanyaan.

Ketika ditanya siapa namanya, ia menjawab dengan sangat lirih. Pertanyaan berikutnya “Kamu sekolah di mana?”, ia menoleh kepada ibunya, seolah-olah bertanya apa jawabannya. Lagi, “Kelas berapa?”, ia masih menoleh kepada ibunya tanpa mampu menjawab. Seolah-olah ia lupa, bingung, tidak tahu apa jawabannya, sehingga perlu orang lain untuk membantunya.

Dari interaksi singkat itu setidaknya ada beberapa informasi penting yang didapat. Pertama, Jojo mendengar dan merespon apa yang saya ucap meski tidak menjawab. Kemungkinan anak ini bukan seorang tuna rungu. Kedua, ia masih bisa menjawab siapa namanya. Meski dengan suara lirih, ia mengucapkan namanya dengan benar, artinya ia bukan tuna wicara. Lantas mengapa ia tampak kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana? Kecurigaan selanjutnya mengarah pada kapasitas intelektualnya, tetapi hasil tes IQ menunjukkan tidak ada masalah dengan kemampuan berpikirnya. Ya, kecerdasan Jojo termasuk kategori rata-rata.

Jojo tidak memiliki masalah fisik yang menghambatnya berkomunikasi dengan orang lain. Meskipun lebih sering menunduk, Jojo mampu menjalin kontak mata dan interaksi dengan lawan bicara. Caranya berperilaku juga tidak memperlihatkan pola tertentu yang mengganggu, hanya saja ia cenderung diam. Jojo tidak banyak atau mungkin memang menolak untuk bicara. Hal itu sejalan dengan keterangan yang disampaikan sang ibu. Ketika berada di rumah,  anaknya mampu berbicara seperti orang lain pada umumnya. Kadang-kadang Jojo juga menceritakan pengalamannya di sekolah kepada sang ibu. Masalahnya, ia hanya mau berbicara kepada orang tertentu saja yaitu ibu dan kakak perempuannya. Saat orang lain mengajaknya bicara, biasanya Jojo hanya diam dan berlalu begitu saja.

 

Memilih Diam (Selective Mutism)

Ilustrasi di atas adalah contoh seorang anak yang mengalami salah satu jenis gangguan psikologis yang disebut dengan selective mutism (SM). Sebuah kondisi saat seseorang tidak mempunyai hambatan fisik apa pun yang terkait dengan pendengaran maupun pengucapan, tetapi sulit berbicara dengan orang lain di berbagai konteks meskipun sebenarnya dalam seting tertentu (misalnya: rumah) ia menunjukkan kemampuan bicara yang normal.

Awal kemuculan gejala SM umumnya dimulai sejak anak masih berusia sekitar lima tahun. Seringkali hal itu tidak disadari dan dianggap biasa, sampai kemudian anak tumbuh dan mengalami kesulitan saat dihadapkan pada tuntutan sosial yang lebih tinggi misalnya sekolah[1]. Saat berada di sekolah, anak dengan SM cenderung diam ketika diajak bicara oleh guru maupun teman-temannya.

Inilah yang dialami oleh Jojo. Teman-teman di sekolah menganggap Jojo sebagai anak yang aneh karena ia terlalu pendiam. Begitu pula saat diajak bicara, orang lain sangat mungkin akan menyimpulkan bahwa Jojo sangat cuek, tidak peduli atau tidak menghargai lawan bicara. Kemudian efek domino muncul sebagai akibatnya. Anggapan-anggapan negatif tentang diri Jojo menguat dan makin diyakini oleh orang-orang di sekitarnya. Perilaku Jojo yang berbeda, menjadi sasaran empuk bullying oleh teman sebaya. Kisah selanjutnya sangat bisa ditebak ke mana arahnya. Ia makin menarik diri, tidak mau bersosialisasi dan lebih memilih menyendiri. Bermula dari hambatan bicara, meluas menjadi kegagalan dalam pergaulan.

Kondisi saat Jojo belajar di kelas juga tak jauh berbeda. Masih dengan perilaku diamnya, guru pun dibuat bingung dengan apa yang sebenarnya sedang dipikirkan dan dirasakan oleh muridnya ini. Apakah sang murid sudah mengerti pelajaran yang dijelaskan atau sebenarnya ada hal-hal yang masih ia bingungkan? Sayangnya apa pun kondisinya, sang murid tetap diam. Ketika ditanya secara langsung, Jojo tidak menjawab apa-apa. Lantas bagaimana? anak ini sudah memasuki usia Sekolah Menegah Atas. Pembelajaran antara guru dan murid bukan lagi hubungan satu arah. Proses belajar di usia ini semakin perlu adanya timbal balik antara pengajar dan pembelajar. Di sini masalah menjadi semakin rumit. Bukan hanya interaksinya dengan teman yang berantakan, kompetensi dan prestasi belajarnya juga mengalami kebuntuan.

 

Bagaimana Selective Mutism Terjadi?

Menurut penelitian, perilaku diam yang ditunjukkan oleh anak dengan SM adalah mekanisme koping terhadap kecemasan[2]. Dengan kata lain diam adalah upayanya mengatasi kecemasan. Meski demikian anak dengan SM jarang benar-benar tampak cemas pada ekspresi wajah maupun perilakunya.

Saat seorang anak berada pada situasi yang membuatnya merasa tidak nyaman, salah satunya situasi sekolah, ia kemudian merasa cemas dan kecemasan itu ia wujudkan dalam bentuk perilaku diam. Tentu kecemasan yang dirasakan anak SM bukan kecemasan pada tingkatan biasa yang umum kita rasakan dalam keseharian. Kecemasan yang dialami anak SM berada pada kategori sangat tinggi. Lalu mengapa seorang anak bisa mengembangkan kecemasan yang sangat tinggi pada dirinya sementara anak yang lain tidak?

Sampai saat ini penyebab dari SM belum diketahui secara pasti. Meski begitu ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab munculnya SM. Pertama, faktor tempramen[1]. Tempramen adalah kecenderungan sifat-sifat dasar atau sifat bawaan yang memang dimiliki setiap orang dan berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Tempramen cenderung menentukan cara seseorang berpikir dan berperilaku dalam merespon situasi yang ia alami. Dalam kaitannya dengan selective mutism, mereka yang mengalami gangguan ini sudah memiliki sifat bawaan berupa kecemasan yang tinggi. Ketika dihadapkan pada situasi tertentu mereka cenderung melihat situasi secara berbeda, memaknai dan merespon secara berbeda pula.

Kedua, penyebab SM adalah faktor lingkungan yaitu keluarga. SM cenderung muncul pada mereka yang mengalami konflik dengan orangtua dan atau peristiwa traumatis baik secara fisik maupun psikologis[2]. Konflik maupun peristiwa traumatis meninggalkan jejak berupa rasa cemas yang mendalam pada diri anak. Faktor lain yang memperbesar kemungkinan anak mengalami SM adalah orangtua yang terlalu mengendalikan anak atau terlalu protektif[1]. Orangtua yang over protektif menunjukkan bahwa mereka juga adalah individu-individu pencemas.

Memang benar bahwa setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Masalahnya adalah apabila keinginan itu justru mengarah pada kecemasan berlebih yang dipelajari lalu ditiru oleh anak. Hal itu diperkuat dengan temuan sejumlah peneliti yang menyimpulkan bahwa orangtua yang memiliki kecemasan yang tinggi, tertutup dan menghindari interaksi dengan orang lain, cenderung  memiliki anak dengan SM[3]. Dengan kata lain, ada hubungan antara karakteristik orangtua yang pencemas dengan kondisi psikologis anaknya.

Ya, orangtua pencemas sangat mungkin melakukan hal-hal berlebihan yang sebenarnya tidak diperlukan oleh anak. Situasi itu kemudian membuat anak terbiasa dengan segala situasi yang serba terjaga dan terkendali. Maka ketika anak berada pada situasi lain dengan banyak kemungkinan yang tidak semuanya bisa dikendalikan, mudah sekali baginya merasakan kecemasan.

 

Kembali pada Jojo, Apa yang Membuatnya Mengalami SM?

Jojo yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dibesarkan dalam keluarga sederhana. Ibunya bekerja sebagai penjahit untuk menghidupi keluarga. Ayahnya tidak memiliki pekerjaan jelas, tetapi satu yang pasti, ia adalah seorang pemabuk yang menurut keterangan sang istri, sejak awal mereka menikah, kurang peduli terhadap keluarganya sendiri. Setiap harinya sang ayah selalu menyuruh Jojo untuk membelikan ini dan itu, melakukan ini dan itu sampai Jojo merasa sangat kesal terhadap ayahnya sendiri. Seolah-olah sang ayah memang sengaja “mengerjai” Jojo berulang kali dalam sehari.

Jika tidak dituruti, sang ayah akan marah besar dan mengeluarkan kata-kata kasar. Hal itu tidak terjadi sekali dua kali tetapi setiap hari, sejak Jojo masih kecil sampai saat ini. Ibu, kakak Jojo dan Jojo hidup dalam tekanan dan kecemasan yang konsisten. Dalam menghadapi kondisi sulit itu mereka bertiga tak melakukan perlawanan. Melawan bagi mereka sama dengan menantang bahaya yang lebih besar lagi. Oleh sebab itu, saat Jojo berkeluh kesah pada ibunya tentang perilaku ayahnya, tak banyak yang bisa dilakukan. Sang ibu menyarankan Jojo untuk diam dan menuruti saja keinginan ayahnya demi keamanan bersama.

Dalam kasus Jojo, kemungkinan selective mutism muncul sebagai kompensasi atas besarnya kecemasan yang terkondisikan selama bertahun-tahun lamanya. Jojo telah akrab dengan kecemasan dan tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain diam.

 

Penanganan Selective Mutism

Keluarga terutama orangtua, memiliki peran penting dalam membentuk perilaku seorang anak. Sebagaimana dijelaskan pada kasus Jojo, ada perilaku-perilaku tidak menyenangkan yang diterima Jojo secara berulang yang sangat mungkin telah berperan terhadap perkembangan SM pada Jojo. Maka untuk membantu Jojo menjadi remaja yang positif, mau bicara dan mau bergaul seperti remaja pada umumnya, idealnya perlu ada upaya mengurangi tekanan yang bersumber dari perilaku ayah kepada Jojo. Masalahnya, ini tidak mudah untuk dilakukan mengingat kurangnya kepedulian ayah Jojo terhadap keluarganya sendiri.

Meski demikian tetap ada hal lain yang bisa diupayakan, salah satunya dengan pedekatan kognitif (pikiran) dan behavior (perilaku). Pertama, Jojo didorong agar mampu merespon tekanan secara tepat yaitu dengan membentuk kembali keyakinan diri Jojo. Ia perlu diyakinkan bahwa dirinya tidak buruk seperti yang selama ini orang lain katakan tentang dirinya. Untuk dapat membentuk kembali konsep positif ini dalam pikiran Jojo, ia diajarkan melakukan self talk. Jojo diajarkan cara untuk berbicara oleh, dari dan untuk dirinya sendiri. Jojo diyakinkan kembali bahwa ia anak yang hebat, kuat, dan pintar. Langkah ini diharapkan bisa membuat Jojo kembali percaya diri sehingga kecemasannya berkurang.

Kedua, membawa Jojo pada situasi sosial yang mana ia didorong untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Mula-mula Jojo diajak makan makanan kesukaannya, yaitu mi ayam. Jojo bertugas memesan makanannya sendiri. Kemudian misi di sesi selanjutnya adalah Jojo diajak ke pasar dan diminta untuk membeli buah-buahan. Pada dua kesempatan tersebut Jojo difasilitasi untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang yang belum ia kenal sebelumnya. Cara tersebut dilakukan untuk mendorong Jojo memproduksi kata dalam situasi nyata serta berlatih melakukan hubungan timbal balik dengan orang lain. Tujuan yang ingin dicapai dengan kegiatan itu adalah Jojo mampu menonaktifkan mode “mute” yang selama ini ia gunakan ketika berhadapan dengan orang lain selain kakak dan ibunya.

Setelah rangkaian pemeriksaan dan penanganan psikologis dilakukan, mulai tampak perubahan pada perilaku Jojo. Setelah sesi kelima, menurut keterangan Ibunya, Jojo mampu menjawab pertanyaan tamu yang menanyakan kepada Jojo di mana ibunya berada. Selain itu Jojo juga sudah mau bicara dengan tantenya yang tinggal tidak jauh dari rumah Jojo, padahal sebelumnya ketika diajak bicara oleh tantenya ini, Jojo tidak pernah mau menjawab.

Dari kisah Jojo, kita bisa mengambil pelajaran berharga tentang pentingnya peran orangtua terhadap tumbuh kembang anak. Anak sangat memerlukan lingkungan yang suportif agar potensinya menjadi optimal. Oleh karena itu bagi orangtua, mari kita evaluasi kembali apakah segala yang telah kita lakukan untuk anak sudah sesuai kebutuhan? Jangan sampai kita lalai, jangan pula kita lebay (berlebihan). Sebagai tenaga profesional, psikolog melaksanakan fungsi fasilitasi, sedangkan terapis yang utama tetap kembali kepada orangtua dan keluarga.

 

Referensi

[1]American Psychiatric Assosiation. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). Washington, DC : Author.

[2] Giddan, J. J., Ross, G. J., Sechler, L. L., & Becker, B. R. (1997). Selective mutism in elementary school: Multidisciplinary interventions. Language, Speech, and Hearing Services in Schools, 28, 127-133.

[3]Chavira, D.A., Blum, E.S., Hithchock, C., Cohan, S., Stein, M.B. (2007). Selective mutism and social anxiety disorder: All in the family?. Journal of Child Adolescence Psychiatry, 46, 11.

Leave a Comment

Pemerintah Kota Kediri
LPSE Kota Kediri
Dinas Kesehatan kota Kediri
Aduan Warga Kota Kediri
E-Katalog LKPP
DPM-PTSP Kota Kediri
Dispendukcapil Kota Kediri
E-Perpus RSUD Gambiran Kota Kediri

Copyright © 2020 RSUD Gambiran Kota Kediri | All Rights Reserved

logo-rsud-gambiran